Oleh : Muhammad Ali Fernandez, SHI., MH.
KPK menetapkan Aziz Syamsudin (AS), Wakil Ketua DPR, Politisi Partai Golkar sebagai Tersangka dalam dugaan Kasus Suap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor. Aziz ditetapkan Tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian hadiah atau janji terkait penanganan perkara yang ditangani oleh KPK di Kabupaten Lampung Tengah.
Menurut Ketua KPK, Firli. Dalam hal ini, Aziz Syamsudin menghubungi penyidik KPK, Stepanus Robin Patttuju, pada Agustus 2020. Tujuannya, untuk meminta tolong kasus yang menyeret namanya dan kader Partai Golkar lainnya, yaitu Aliza Gunado. “Sebagaimana komitmen awal pemberian uang dari AZ kepada SRP dan MH sebesar Rp. 4 Miliar, yang telah direalisasikan baru sejumlah Rp. 3,1 Miliar,” Ucap Firli.
Dalam Perkara ini, Stepanus Robin, sudah ditetapkan Tersangka oleh KPK dan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
*****
Kasus diatas cukup menarik, dilihat dari dua sudut pandang. Pertama KPK sebagai lembaga penegak hukum yang terkenal seperti malaikat ternyata memiliki kelemahan. Dengan tetap berpegang pada asas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence). Perkara Stepanus Robin Pattuju, membuktikan tesis beberapa orang bahwa hampir disetiap lembaga yang ada di Republik ini ada oknum. KPK bukan malaikat.
Kedua, dari sisi proses penanganan perkaranya. Tindak pidana suap merupakan klasifikasi tindak pidana “Penyertaan Mutlak”. “Penyertaan Mutlak” adalah tindak pidana yang mengharuskan ada dua orang pelaku. Pemberi Suap dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b UU Pemberantasan Tipikor dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun, maksimal 4 tahun penjara. Sementara Penerima Suap dikenakan Pasal 5 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor dengan ancaman hukuman sama, minimal 1 tahun, maksimal 4 tahun Penjara.
Suap adalah tindak pidana yang mengharuskan adanya dua Pelaku yang memiliki peran berbeda yaitu “Pemberi Suap” dan “Penerima Suap”. Keduanya harus memiliki kesepamahaman yakni untuk “memberi hadiah atau janji” dan untuk “menerima hadiah atau janji”. Sama seperti, delik perzinahan menurut 284 KUHP, yaitu persetubuhan antara Pria dengan Wanita, yang salah satunya diketahui telah menikah, dengan ancaman 9 bulan penjara. Perzinahan tidak dapat dilakukan oleh hanya seorang pria maupuan oleh hanya seorang wanita. Dalam perbuatan pidana (actus reus) Pasal 5 UU Tipikor, seringkali dalam perbuatan memberi hadiah atau janji yang terbukti, belum tentu perbuatan menerima hadiah atau janjinya terbukti juga secara terang benderang.
Perbuatan suap ini, tidak kita bisa bayangkan seperti pemberian uang ketika kita berbelanja di Supermarket. Dimana tangan kita yang memegang uang bersentuhan dengan tangan petugas supermarket yang menerima uang tersebut. Kita bisa melihat kedua perbuatan dalam satu waktu. Pemberian uang dan penerimaan uang.
Jika cukup jeli, dalam beberapa perkara dugaan suap KPK selalu “mendahulukan” proses pemeriksaan penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan terhadap terduga pelaku pemberi suap. Biasanya, “Pemberi Suap” diperiksa terlebih dahulu dan menerangkan detail pemberian suap yang dilakukan. Mulai dari konstruksi waktu pemberian suap dilakukan, dimana tempatnya, siapa saja yang terlibat, tujuannya untuk apa, besar suapnya berapa, siapa saja yang diberi suap, akibat suapnya apa, sampai asal muasal kepemilikan uang suap tersebut.
Biasanya, “Pemberi Suap”, yang di ancam dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU Pemberantasan Tipikor, menawarkan dirinya –atau diiming-imingi oleh KPK- untuk menjadi “pelaku yang berkerjasama” atau Juctice Collabolator, dengan tujuan agar hukumannya lebih ringan dan mendapatkan pemotongan masa tahanan saat menjalani masa pemidanaan. Sementara, “Penerima Suap”, tidak didakwa dengan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor yang ancamannya maksimal 5 tahun penjara, melainkan Pasal 12 UU Tipikor yang ancamannya lebih tinggi yaitu Maksimal 20 tahun Penjara. Terhadap perbedaan penerapan hukuman ini menjadi persoalan tersendiri.
Sekilas, proses tersebut dipahami untuk memudahkan penanganan perkara. Namun, sesungguhnya pembuktian terhadap kedua proses perbuatan pidana tersebut baik perbuatan pidana pemberian suap maupun perbuatan pidana penerimaan suap, haruslah benar-benar dibuktikan menurut sistem dan pembuktian hukum pidana. Hal ini, kerap –mohon maaf- diabaikan.
*****
Ketika Pemberi Suap telah melewati proses dan dijatuhi sanksi sebagai “Pemberi Suap”, muncul kesan dan pikiran bahwa otomatis terbukti “Penerima Suap” benar telah menerima suap tersebut. Kita tahu, proses persidangan tetap dilakukan untuk “penerima suap”, namun sering kali, hal tersebut merupakan formalitas belaka. Karena seringkali, Hakimnya adalah hakim yang mengadili perkara Terdakwa pemberian suap sebelumnya (ini merupakan serangkaian pemeriksaan saksi-saksi, ahli dan alat bukti yang memakan waktu berbulan-bulan), sehingga dalam benak Hakim tersebut, dengan terbuktinya Terdakwa pelaku pemberian suap maka seolah-olah telah benar terjadi perbuatan penerimaan suap.
Sebagai contoh, ketika seorang pelanggar peraturan lalu lintas yang akan di tilang, meletakkan sejumlah uang di dashboard mobil petugas. Maka pikiran kita memahami bahwa orang yang meletakkan uang itu berniat menyuap petugas dengan maksud agar dirinya tidak di tilang. Namun, ternyata, misalkan dalam kasus tersebut, orang tersebut tetap ditilang.
Ketika orang yang menyuap petugas ini diperiksa dan memberikan pengakuan serta terbukti yang bersangkutan meletakkan uang di dashboard mobil (dengan serangkaian proses penyidikan dan penuntutan). Pertanyaan, yang penting adalah Apakah dengan terbuktinya pemberian uang oleh orang tadi maka Petugas tadi otomatis dapat dikatakan telah “melakukan penerimaan” uang tersebut? Jawabannya : Tidak. “Pemberian Suap” dan “Penerimaan Suap”, meskipun diletakkan sebagai perbuatan penyertaan mutlak, namun pembuktiannya haruslah dilakukan satu persatu dan dalam kerangka perbuatan sendiri-sendiri.
Selain ada persoalan pembuktian terhadap perbuatan pidana (actus reus), jika konstruksi perbuatan diatas diterapkan maka seringkali terhadap petugas tadi tetap dapat dikenai Pasal 11 karena : menurut pikiran orang yang meletakkan uang tadi, uang tersebut diberikan berkenaan dengan jabatan petugas, sebagaimana Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsi, berikut ini :
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”.
Jadi tidak mesti ada kekuasaan atau kewenangan dalam jabatan petugas atau pejabat negara. Asalkan dalam pikiran orang yang memberikan hadiah, terdapat hubungan dengan jabatan petugas tersebut maka delik ini dapat diterapkan. Padahal bisa jadi petugas tersebut tidak tahu keberadaan uang tersebut (karena ditaruh didasboard) atau bisa jadi petugas tersebut tidak mau menerima dan tetap menilang.
*****
Dalam kasus Aziz Syamsudin, “Penerima Suap” telah diproses terlebih dahulu. Adanya penerimaan uang sebesar total Rp. 3,1 Miliar ada dalam berkas BAP dan dakwaan. Tapi, Apakah perbuatan pemberian suap otomatis terbukti? Pembuktian perbuatan pidana penerimaan suap harus benar-benar terbukti dan terang benderang (dan memisahkan adanya pengakuan dari pemberi). Pun demikian, pembuktian perbuatan pidana pemberian suap harus benar-benar terbukti dan terang benderang (dan memisahkan adanya pengakuan dari penerima). Yang tidak kalah penting adalah, Pertama, apakah benar ada perbuatan pemberian uang dilakukan, Kedua, Apakah memang hal tersebut didasarkan atas keinginan Aziz Syamsudin ataukah pihak lain? Hal ini penting untuk menggali unsur kesalahan “mens rea”, sikap batin dari Aziz Syamsudin. Unsur kesalahan (yang terwujud dari perbuatan sengaja atau lalai), haruslah dibuktikan karena menunjukkan tujuan akhir dari pemberian uang.