Oleh : Muhammad Ali Fernandez, SHI., MH. (081383724254)
Frasa “patut diduga”
Bagaimana konsep kelalaian sebagaimana terjemahan frasa, “patut diduganya” dalam UU PPTPPU yang menjerat Vanessa Khong (VK), ayah Vanessa Khong, Rudiyanto Pei (RP), serta adik Indra Kenz, Nathania Kesuma (NK). Perbuatan mereka kurang lebih dianggap tidak melakukan perbuatan “penduga-duga” atau “penghati-hati”, ketika menerima harta kekayaan dari Indra Kenz, yang seharusnya bisa mereka duga sebagai harta yang berasal dari salah satu dari 21 tindak pidana.
Meskipun, Indra Kenz pada waktu itu melakukan aktifitas pekerjaan atau memiliki usaha yang belum dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Apakah seharusnya Vanessa Khong (VK), Rudiyanto Pei (RP), serta Nathania Kesuma (NK) menolak untuk menerima harta kekayaan tersebut ketika diberikan oleh Indra Kenz karena, sekali lagi, Vanessa Khong (VK), Rudiyanto Pei (RP), serta Nathania Kesuma (NK), dianggap seharusnya memiliki kemampuan untuk “penduga-duga” atau “menduga” atau “penghati-hati” atau “hati-hati” atau setidaknya “curiga” bahwa harta kekayaan Indra Kenz itu merupakan hasil tindak pidana atau kejahatan.
Nah, disinilah rumitnya penilaian sejauh mana orang dianggap harus mengetahui bahwa harta kekayaan atau uang atau harta dalam bentuk apapun yang diterima dari orang dekatnya merupakan harta yang tidak sah atau harta hasil kejahatan. Untuk kita yang awam, perbuatan Indra Kenz disekitar bisnis trading saham bisa jadi merupakan cara legal dan halal untuk mendapatkan uang. Karena banyak juga orang yang bermain saham mendapatkan hasil yang tidak sedikit. Meskipun, ternyata belakangan binary option versi Indra Kenz berbeda dengan trading saham sebagaimana umumnya dan dikategorikan tindak pidana perbankan dan penipuan.
Dari sini, perkenankan kita membandingkan dengan tindak pidana penadahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 480 KUHP yang memiliki kesamaan dengan UU PPTPPU, sebagaimana berikut :
Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900, dihukum:
- Karena sebagai sekongkol, barangsiapa yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung, menjual menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan.
- Barangsiapa yang mengambil untung dari hasil suatu barang, yang diketahuinya atau yang patut harus disangkanya barang itu diperoleh karena kejahatan.
Dalam perkara penadahan, frasa “diketahuinya” menunjukkan adanya kesengajaan. Sebagai contoh : Seseorang (Si A) yang membeli sebuah motor, sejak awal memang mengetahui bahwa dirinya membeli dari seseorang (Si B) yang mengaku motor tersebut adalah barang curian. Si B mengatakan bahwa ia membutuhkan uang karena itu dia mencuri motor dan meminta Si A untuk membeli/membayar barang curian tersebut. Disini Si A mengetahui persis bahwa barang yang dia beli merupakan hasil dari kejahatan, karenanya Si A dapat dikenakan Pasal 480 tentang Penadahan.
Sementara itu, frasa, “patut disangkanya” merupakan petunjuk adanya kelalaian atas perbuatan. Yaitu orang tersebut harusnya dapat menyangka atau menduga bahwa sesuatu barang tersebut merupakan hasil kejahatan. Sebagai contoh : Si A membeli sebuah motor dari Si B, dimana meskipun Si B tidak pernah mengatakan dia mencuri, namun ketika motor itu dijual kepada Si A, terdapat beberapa keanehan atau kejanggalan. Misal : 1) ternyata harga jual motor tersebut jauh sekali dibawah harga pasar, (misal: harga pasar Rp. 15 juta, motor tersebut ditawarkan pada harga Rp. 6-7 juta), 2) surat-surat motor tersebut tidak lengkap, hanya ada STNK, sementara BPKB nya tidak ada, 3) nama yang tertera dalam STNK berbeda dengan nama Si B. 4) proses pembelian dan pemeriksaan terhadap motor tidak dilakukan sebagaimana selayaknya.
Dari sanalah dapat diduga Si A melakukan “kelalaian” dengan tidak “penduga-duga” atau “penghati-hati” dengan membeli barang yang seharusnya patut disangka merupakan barang hasil kejahatan. Jadi ada ukuran-ukuran obyektif dari perbuatan Si A ketika membeli motor dari Si B sampai pada kesimpulan motor tersebut merupakan hasil kejahatan atau setidak-tidaknya bukanlah milik Si B.
Ukuran Kelalaian
Dalam kasus kejahatan penadahan, yang biasanya merupakan pencurian, sementara itu di UU PPTPPU jelas disebutkan jenis tindak pidananya sementara di penadahan hanya disebutkan kejahatan. Jelas nampak ukuran obyektif “kelalaian” yang terjadi dari perbuatan penadahan tersebut. Sementara itu, bagaimana kita bisa mengira-ngira suatu harta kekayaan merupakan berasal dari salah-satu dari 21 jenis perbuatan tindak pidana yang dilarang dalam UU PPTPPU.
Karena ada beberapa jenis perbuatan atau pekerjaan yang memang memilik peluang untuk mendapatkan harta kekayaan yang banyak dan luar biasa. Sebagai contoh adalah pekerjaan dibidang perbankan dan dibidang pasar modal (Pasal 2 ayat (1) huruf g dan h UU PPTPPU).
Sebagai contoh, dahulu kita ketahui ada seseorang manager prioritas salah satu bank swasta, Melinda Dee yang ditangkap karena diduga melakukan tindak pidana dibidang perbankan. Kemudian, Andhika Gumilang, yang merupakan suami sirinya juga ditangkap dengan dugaan melakukan tindak pidana pencucian uang dengan menerima hasil tindak pidana perbankan dari Melinda Dee. Secara sekilas, seseorang yang bekerja dibidang perbankan memang dimungkinkan memiliki harta kekayaan yang lumayan. Maka, dalam ukuran tertentu seseorang yang menerima uang yang wajar dari seorang pegawai bank, tidak dapat dikatakan dia seharusnya “mengetahui” atau “patut menduga” harta yang diterima berasal dari kejahatan perbankan. Karena secara kewajaran, -sekali lagi- orang yang bekerja dibidang perbankan khususnya manager prioritas memang memiliki harta kekayaan yang lumayan.
Pun, begitu kita pernah mendengar adanya kasus, Eddies Adelia, seorang artis yang ditangkap karena menerima sejumlah uang dari Suaminya, Ferry Setiawan. Ferry Setiawan, diduga melakukan tindak pidana penipuan sebesar Rp. 25 Milyar, dalam perkara investasi pertambangan batubara. Eddies, sejak awal menikah menerima uang setiap bulan Rp. 100 juta, karena itulah dia dianggap menerima harta kekayaan dari tindak pidana pencucian uang. Dalam ukuran yang wajar, seorang suami pekerjaannya bergerak dibidang usaha pertambangan, wajar kiranya memberikan istri belanja bulanan sebesar Rp. 100 rupiah. Terlebih istri tersebut berstatus sebagai artis yang memang terbiasa memegang uang banyak, dengan kebutuhan yang banyak pula.
(Sumber : https://megapolitan.kompas.com/read/2013/10/28/2007449/NaN danhttps://entertainment.kompas.com/read/2015/04/28/225855710/Belajar.dari.Kasusnya.Eddies.Adelia.Ingatkan.Para.Istri)
Ukuran-ukuran yang wajar tersebut tidak bisa disamakan dari satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, namun ada beberapa hal yang bisa dijadikan ukuran bahwa seseorang yang menerima harta kekayaan dari orang lain, tidak terkena kualifikasi “yang diketahuinya” atau “patut diduganya” harta tersebut merupakan hasil tindak pidana. Atau secara sederhana harta yang diterima dapat diperkirakan memang merupakan harta yang legal dan halal, yaitu : 1) orang yang memiliki harta tersebut kita kenal dekat dan kita kenal tidak memiliki reputasi yang buruk, 2) jenis pekerjaan orang yang memiliki harta kekayaan tersebut memang pekerjaan yang memungkinkan mendapatkan harta kekayaan yang lumayan atau berlimpah, 3) jabatan pada jenis pekerjaan orang yang memiliki harta kekayaan tersebut merupakan jenis pekerjaan yang memungkinkan memiliki harta kekayaan, 4) uang atau harta kekayaan yang diberikan dalam jumlah yang wajar dikaitkan dengan harta kekayaan dari si pemilik harta, bukan berdasarkan ukuran dari penerima tapi dari pemilik harta.
Dalam hal pemberian itu dilakukan terhadap orang yang dikenal maka harus ada bingkai transaksi yang halal, semisal : kontrak jual beli, sewa menyewa, kerjasama mengisi acara, kerjasama dalam bentuk lain yang halal, dst. Tentu saja, nilainya harus dalam bingkai yang wajar dan pantas.
Nah, dalam perkara Vanessa Khong (VK), Rudiyanto Pei (RP), serta Nathania Kesuma (NK), bagaimana ukuran obyektif kelalaian sebagaimana makna dari unsur frasa “yang diketahui” atau “patut diduganya” harta kekayaan yang diberikan oleh Indra Kenz adalah harta kekayaan yang merupakan berasal dari tindak pidana. Setidaknya ada tiga hal yang dapat dijadikan bahan diskusi, yaitu :
Pertama, Apakah Indra Kenz yang nota bene orang dekat mereka (pacar, calon menantu dan kakak) memang bekerja atau melakukan pekerjaan dalam bidang yang memungkinkan memiliki uang yang lumayan atau harta kekayaan yang berlimpah. Kedua, Apakah uang atau harta kekayaan tersebut diberikan untuk tujuan yang tertentu yang legal secara hukum dan halal. Ketiga, dalam kasus ini, Indra Kenz yang bermain dalam trading saham secara umum (meskipun kemudian ternyata binary option yang berbeda dengan trading saham), memang sering mendapatkan uang yang cukup banyak, bukan hanya sesekali dan pada waktu itu belum dipermasalahan oleh umum. Artinya, uang dalam jumlah besar sering diterima oleh Indra Kenz dalam bisnisnya. Dengan kata lain, Vanessa Khong (VK), Rudiyanto Pei (RP), serta Nathania Kesuma (NK) memang memiliki ukuran yang obyektif sehingga dalam pikirannya mereka sudah menduga bahwa terhadap harta kekayaan atau uang milik Indra Kenz memanglah didapatkan dari hasil yang legal dan halal. Bisa jadi ukuran obyektif diatas, tidak pas diterapkan dalam peristiwa-peristiwa lain, namun berkaca dari kasus penadahan. Bila seseorang membeli mobil dengan harga yang wajar, surat-suratnya lengkap, dari pedagang resmi, kemudian diketahui bahwa mobil tersebut merupakan mobil yang bermasalah dan ternyata dokumen-dokumen tersebut dipalsukan maka sudah sepatutnya orang tersebut tidak kena pasal penadahan. Pun demikian, orang yang menerima uang dari seseorang yang dia kenal, dan diketahui memang dalam keseharian memiliki pekerjaan atau bisnis yang menghasilkan uang yang banyak serta diberikan untuk tujuan tertentu yang legal dan halal. Maka sepatutnya orang tersebut tidak dikenakan sanksi pidana.